Sumber Foto: Pinterest

Dari lingkup materi pengaturan perdagangan di Pasal 4 UU No.7 Tahun 2014, salah satu bidang yang menarik adalah ayat 1 (C) yakni lingkup pengaturan mengenai Perdagangan Perbatasan. Berdasarkan undang-undang tersebut, Perdagangan  Perbatasan yang dimaksud merupakan aktivitas Perdagangan yang dilakukan oleh warga negara Indonesia yang bertempat tinggal di daerah perbatasan Indonesia dengan penduduk negara tetangga untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

 

Lingkup pengaturan Perdagangan ini menjadi menarik karena merupakan titik fokus regulasi perdagangan yang baru disahkan beberapa tahun lalu. Pembentukan regulasi ini tentunya dapat membuat terang ambang batas hak dan kewajiban antara penjual dan pembeli di area khusus seperti wilayah perbatasan serta peraturan-peraturan yang mesti dipatuhi beserta sanksi yang menyertai pelanggarannya.

 

Lebih lanjut, pada 6 Mei 2019 lalu, Presiden Joko Widodo menandatangani Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 34 Tahun 2019 tentang Perdagangan Perbatasan. PP tersebut adalah bentuk tindak lanjut dari ketentuan Pasal 56 ayat (4) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan.

 

Dalam PP ini disebutkan bahwa setiap warga negara Indonesia yang bertempat tinggal di wilayah NKRI yang berbatasan langsung dengan negara lain (seperti halnya Sebatik) dapat melakukan perdagangan perbatasan dengan penduduk negara lain tersebut yang juga bertempat tinggal di wilayah perbatasan (misalnya  Malaysia).

 

Dalam lingkup pengaturan UU Nomor 7 Tahun 2014 dan PP Nomor 34 Tahun 2019 diatur pula mengenai syarat dokumen bagi Warga Negara Indonesia (WNI) yang melakukan transaksi pembelian barang di luar daerah pabean dalam rangka perdagangan perbatasan terdapat dua jenis, yakni:

 

Pertama-tama harus memiliki dokumen imigrasi ‘Pelintas Batas’ yang diterbitkan oleh kantor Imigrasi yang membawahi wilayah perbatasan.

Kedua, dokumen pabean ‘Pelintas Batas’ yang diterbitkan oleh kantor pabean yang mengawasi Pos Lintas Batas.

 

Begitu pula hal tersebut berlaku bagi penduduk negara tetangga yang berada di wilayah perbatasan yang ingin melakukan transaksi pembelian barang di wilayah Indonesia. Mereka wajib memiliki identitas ‘Pelintas Batas’ yang dipersyaratkan oleh pemerintah negara yang bersangkutan.

 

Jenis-jenis barang yang dapat ditransaksikan adalah barang yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dengan nilai maksimal transaksi pembeliannya ditetapkan berdasarkan perjanjian bilateral yang disesuaikan dengan undang-undang. Jika ternyata nilai barang yang dibeli melebihi ketentuan, maka barang yang melebihi nilai tersebut akan diekspor kembali ke negara asal.

 

Pemasukan barang ke daerah pabean sebagaimana dimaksud dalam pengaturan Perdagangan Perbatasan ini berada di bawah pengawasan dan pemeriksaan pejabat bea dan cukai di Pos Lintas Batas. Selain itu, Pos Lintas Batas Negara juga harus dilengkapi dengan pelayanan dan pengawasan fasilitas kepabeanan dan cukai, keimigrasian, karantina, dan keamanan.

 

Sumber Foto: Pinterest

Di sisi lain, Perdagangan Perbatasan ini juga memiliki keuntungan tersendiri yakni memberikan pembebasan bea masuk dan pajak dalam sektor impor, pengecualian dari pengenaan pajak bea keluar, dan pengecualian dari ketentuan pembatasan ekspor dan impor, serta pengecualian dari ketentuan tata niaga impor di luar kawasan pabean atau yang dikenal dengan post border.

 

Oleh karenanya pengaturan Perdagangan Perbatasan memiliki fungsi untuk memudahkan dan membantu masyarakat wilayah perbatasan yang sebelumnya kurang dijangkau oleh perhatian pemerintah, dan dengan diadakannya lingkup pengaturan ini memberikan kejelasan batasan-batasan yang boleh dan tidak boleh dilakukan dalam perdagangan di wilayah perbatasan.


Referensi:

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan.

Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 34 Tahun 2019 tentang Perdagangan Perbatasan.

0 Komentar